Minggu, 26 September 2021

Mencetak Generasi Ulama melalui Media Sosial

Mencetak Generasi Ulama melalui Media Sosial

    Era modernisasi seperti zaman sekarang memang sudah semakin maju ditambah dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih, seperti misalnya fenomena media sosial yang hanya bermodalkan gawai dan koneksi internet dapat mengakses berbagai macam hal di seluruh penjuru dunia. Media sosial juga mempunyai berbagai dampak positif dan negatif bagi penggunanya. Semakin maju teknologi Indonesia, membuat Indonesia semakin terancam juga perilaku-perilaku tidak senonoh yang terjadi di media sosial.

    Banyak terjadi kasus pelecehan nama baik sesorang atau mengadu domba antar tokoh di media sosial, hal ini terjadi karena terlalu bebasnya masyarakat berkomentar atau membuat konten-konten yang bersifat sarkas untuk menjatuhkan pihak lain, dampak lainnya yaitu pengguna media sosial yang aktif akan lupa dengan lingkungan sekitar, lupa juga dengan kewajiban-kewajiban Allah yang harus dikerjakan, seperti misalnya sholat dinanti-nanti, membaca Al Quran tidak menentu, dan masih banyak lainnuya. Di sini yang lebih ditekankan untuk bijak menggunakan media sosial adalah para pemuda yang hidup di zaman sekarang.

    Bijak menggunakan media sosial memang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat khususnya anak muda zaman sekarang, mereka lebih aktif di berbagai konten yang sifatnya negatif, berkomentar tentang kebencian terhadap salah satu tokoh juga menjadi fenomena yang cukup membuat jagat media sosial ramai.

    Selain tugas para pemuda-pemuda Indonesia untuk bijak menggunakan media sosial, orang tua juga mempunyai peran penting dalam mewujudkan hal tersebut. Mendidik putra-putrinya sejak dini mengenai kebebasan dalam menggunkan media sosial menjadi salah satu cara orang tua untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan ketika kelak sudah mulai aktif dan mengenyam dunia luar rumah yang lingkungannya belum tentu bisa diprediksi.

    Orang tua mempunyai harapan besar kepada anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang berhasil dunia dan akhirat. Jangan sampai hanya gara-gara media sosial harapan orang tua tersebut jadi gagal dan hasilnya mengecewakan. Terlebih jika omongan orang tua sudah tidak didengar lagi, dan lebih memilih mendengarkan influencer kebanggaannya yang hanya bisa didengarkan di media sosial, dan balik menasehati orang tuanya, naudzubillahimindzalik.

    Jika orang tua sudah mulai lelah mendidik anaknya, mungkin ini bisa menjadi salah satu cara agar kelak menjadi orang yang berhasil dunia dan akhirat yaitu dengan cara memasukkan anak sejak dini ke pondok pesantren. Memang iya berubah untuk tidak bermain media sosial tidak mudah, tapi jika lingkungan kita juga tidak ada yang mendukung untuk bermain media sosial untuk kemaslahatan umat otomatis anak tersebut lama-lama akan terbiasa sendiri mengalihkan kegiatan yang hanya bermain sosial media menjadi kegiatan yang bermanfaat seperti misalnya, belajar kitab-kitab apapun, sholat ditambah dengan sunnah-sunnahnya, atau berolahraga bersema teman-teman yang mempunyai keinginan sama tidak terlalu aktif bermain media sosial. 

    Meskipun menjadi santri di era modern belum terlalu fenomenal atau viral, sebagian besar prmuda yang lulusan pondok akan lebih terlihat daripada hanya bermodalkan dua jari jempol untuk menyinyir isu-isu hangat yang terjadi di negeri kita tercinta. Selain itu, kehidupan di pondok njuga sangat mendukung santri-santri untuk melakukan hal-hal kebaikan bagi sesama manusia, belajar menghargai pendapat, bisa merasakan kebersamaan yang cukup besar satu dengan lainnya.

    Lulusan pondok pesantren juga sudah tidak usah diragukan lagi, sudah banyak kyai-kyai hebat atau Alim Ulama yang sudah mendunia berkat pondok pesantren. Ditambah lagi sangat miris melihat akhir-akhir ini juga banyak Ulama yang menghembuskan nafas terakhirnya di masa pandemi covid-19 ini. Hal ini juga menjadi salah satu tugas masyarakat untuk melahirkan kembali generasi-generasi ulama untuk masa yang akan datang. Jika bukan dari masyarakat lalu siapa lagi?

    Indonesia memang bukan negara islam, namun jika bukan karena islam Indonesia tidak bisa semerdeka sampai detik ini. Apa bedanya yang ngakunya pemuda zaman now dengan generasi muda Islam, hingga membuat ketimpangan yang sungguh nyata antara kepribadian kita dan kepribadian mereka para pejuang Islam. Bukankah kita juga telah dipuji pemilik kehidupan sebagai umat terbaik. Sebagaimana Allah SWT berfiman:”Kalian semua adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (QS Ali Imran 110).

    Selain dengan nyantri (istilah orang yang masuk pondok pesantren) para pemuda Indonesia juga bisa menciptakan generasi guru atau ulama dengan cara belajar pelajaran umum di sekolah namun tidak melupakan kewajibannya sebagai orang islam. Namun sayangnya sampai saat ini pembelajaran di sekolah-sekolah masih dilaksanakan secara online atau daring akibat dampak dari pandemi covid-19 ini.

    Menurut saya dengan dilakukannya pembelajaran umum secara daring dengan jangka waktu yang cukup lama sangat tidak efesien, karena murid-murid tidak merasakan bagaimana guru mentransfer ilmu secara langung lewat keberagaman cara penyampaian guru kepada murid-muridnya.

    Sudah berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai sistem pembelajaran, tapi menurut saya masih kurang efektif. Maka jika saya menjadi seorang Menteri Kemendikbud saya akan segera mengembalikan keadaan sekolah seperti biasanya di masa pandemi ini, namun yang membedakan adalah suatu protokol yang selalu ditekankan atau diketatkan agar tetap mencegah rantai penularan covid-19.

    Kita boleh waspada, namun takut jangan. Karena jika kita terus-terusan takut dan berdiam diri tanpa melakukan sesuatu yang sifatnya membangun maka kita akan semakin terpuruk dan mau sampai kapan sekolah dilakukan dengan cara daring?

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CINTA (?)

Insan kaula muda memang seperti haram hukumnya jika tidak bicara soal cinta. Bukan lagi hal yang tabu, cinta sudah seperti kebutuhan yang ha...