Mencetak Generasi Ulama melalui Media Sosial
Era modernisasi
seperti zaman sekarang memang sudah semakin maju ditambah dengan semakin
pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih, seperti misalnya fenomena
media sosial yang hanya bermodalkan gawai dan koneksi internet dapat mengakses
berbagai macam hal di seluruh penjuru dunia. Media sosial juga mempunyai
berbagai dampak positif dan negatif bagi penggunanya. Semakin maju teknologi
Indonesia, membuat Indonesia semakin terancam juga perilaku-perilaku tidak
senonoh yang terjadi di media sosial.
Banyak terjadi
kasus pelecehan nama baik sesorang atau mengadu domba antar tokoh di media
sosial, hal ini terjadi karena terlalu bebasnya masyarakat berkomentar atau
membuat konten-konten yang bersifat sarkas untuk menjatuhkan pihak lain, dampak
lainnya yaitu pengguna media sosial yang aktif akan lupa dengan lingkungan
sekitar, lupa juga dengan kewajiban-kewajiban Allah yang harus dikerjakan,
seperti misalnya sholat dinanti-nanti, membaca Al Quran tidak menentu, dan
masih banyak lainnuya. Di sini yang lebih ditekankan untuk bijak menggunakan
media sosial adalah para pemuda yang hidup di zaman sekarang.
Bijak
menggunakan media sosial memang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat
khususnya anak muda zaman sekarang, mereka lebih aktif di berbagai konten yang
sifatnya negatif, berkomentar tentang kebencian terhadap salah satu tokoh juga
menjadi fenomena yang cukup membuat jagat media sosial ramai.
Selain tugas
para pemuda-pemuda Indonesia untuk bijak menggunakan media sosial, orang tua
juga mempunyai peran penting dalam mewujudkan hal tersebut. Mendidik
putra-putrinya sejak dini mengenai kebebasan dalam menggunkan media sosial
menjadi salah satu cara orang tua untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan
ketika kelak sudah mulai aktif dan mengenyam dunia luar rumah yang
lingkungannya belum tentu bisa diprediksi.
Orang tua
mempunyai harapan besar kepada anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang
berhasil dunia dan akhirat. Jangan sampai hanya gara-gara media sosial harapan
orang tua tersebut jadi gagal dan hasilnya mengecewakan. Terlebih jika omongan
orang tua sudah tidak didengar lagi, dan lebih memilih mendengarkan influencer
kebanggaannya yang hanya bisa didengarkan di media sosial, dan balik menasehati
orang tuanya, naudzubillahimindzalik.
Jika orang tua
sudah mulai lelah mendidik anaknya, mungkin ini bisa menjadi salah satu cara
agar kelak menjadi orang yang berhasil dunia dan akhirat yaitu dengan cara
memasukkan anak sejak dini ke pondok pesantren. Memang iya berubah untuk tidak
bermain media sosial tidak mudah, tapi jika lingkungan kita juga tidak ada yang
mendukung untuk bermain media sosial untuk kemaslahatan umat otomatis anak
tersebut lama-lama akan terbiasa sendiri mengalihkan kegiatan yang hanya
bermain sosial media menjadi kegiatan yang bermanfaat seperti misalnya, belajar
kitab-kitab apapun, sholat ditambah dengan sunnah-sunnahnya, atau berolahraga
bersema teman-teman yang mempunyai keinginan sama tidak terlalu aktif bermain
media sosial.
Meskipun menjadi
santri di era modern belum terlalu fenomenal atau viral, sebagian besar prmuda
yang lulusan pondok akan lebih terlihat daripada hanya bermodalkan dua jari
jempol untuk menyinyir isu-isu hangat yang terjadi di negeri kita tercinta.
Selain itu, kehidupan di pondok njuga sangat mendukung santri-santri untuk
melakukan hal-hal kebaikan bagi sesama manusia, belajar menghargai pendapat,
bisa merasakan kebersamaan yang cukup besar satu dengan lainnya.
Lulusan pondok
pesantren juga sudah tidak usah diragukan lagi, sudah banyak kyai-kyai hebat
atau Alim Ulama yang sudah mendunia berkat pondok pesantren. Ditambah lagi
sangat miris melihat akhir-akhir ini juga banyak Ulama yang menghembuskan nafas
terakhirnya di masa pandemi covid-19 ini. Hal ini juga menjadi salah satu tugas
masyarakat untuk melahirkan kembali generasi-generasi ulama untuk masa yang
akan datang. Jika bukan dari masyarakat lalu siapa lagi?
Indonesia memang
bukan negara islam, namun jika bukan karena islam Indonesia tidak bisa
semerdeka sampai detik ini. Apa bedanya yang ngakunya pemuda zaman now dengan
generasi muda Islam, hingga membuat ketimpangan yang sungguh nyata antara
kepribadian kita dan kepribadian mereka para pejuang Islam. Bukankah kita juga
telah dipuji pemilik kehidupan sebagai umat terbaik. Sebagaimana Allah SWT
berfiman:”Kalian semua adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah” (QS Ali Imran 110).
Selain dengan
nyantri (istilah orang yang masuk pondok pesantren) para pemuda Indonesia juga
bisa menciptakan generasi guru atau ulama dengan cara belajar pelajaran umum di
sekolah namun tidak melupakan kewajibannya sebagai orang islam. Namun sayangnya
sampai saat ini pembelajaran di sekolah-sekolah masih dilaksanakan secara
online atau daring akibat dampak dari pandemi covid-19 ini.
Menurut saya
dengan dilakukannya pembelajaran umum secara daring dengan jangka waktu yang
cukup lama sangat tidak efesien, karena murid-murid tidak merasakan bagaimana
guru mentransfer ilmu secara langung lewat keberagaman cara penyampaian guru
kepada murid-muridnya.
Sudah berbagai
kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai
sistem pembelajaran, tapi menurut saya masih kurang efektif. Maka jika saya
menjadi seorang Menteri Kemendikbud saya akan segera mengembalikan keadaan
sekolah seperti biasanya di masa pandemi ini, namun yang membedakan adalah
suatu protokol yang selalu ditekankan atau diketatkan agar tetap mencegah
rantai penularan covid-19.
Kita boleh
waspada, namun takut jangan. Karena jika kita terus-terusan takut dan berdiam
diri tanpa melakukan sesuatu yang sifatnya membangun maka kita akan semakin
terpuruk dan mau sampai kapan sekolah dilakukan dengan cara daring?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar