Tentang Hak dan Fungsi Hati
Pagi sekali aku harus bangun, menikmati arunika dari
jendela kecil di sudut kamarku. Segera menuju dapur sederhana rumahku membuat teh
hangat dan mencicipi pisang goreng buatan ibuku. Terdengar juga saling saut
ibu-ibu desa yang sedang memperjuangkan haknya untuk membeli dan menegosiasi harga
sayur, ikan, dan sebagainya.
Bapak-bapak membawa jala ikan menuju laut dengan
ayuhan sepedanya. Sedangkan aku begini saja, hari-hariku hanya menjadi saksi
kesibukan mereka, menjadi penonton orang sekitar mencari nafkah. Seperti ada
yang salah dalam diriku, entah apa yang membuat diri ini sehingga tidak
semangat dalam melakukan hal apa saja.
Biasanya aku hanya menatap layar telepon genggam menunggu
kabar dari seseorang istimewa bangun dari tidur lelapnya. Mungkin juga memang
usiaku saat ini sedang ingar tentang cinta, nyatanya banyak orang di usiaku
saat ini merasakan sakit hati, merasakan kasmaran atau bahkan sedang menjalin
hidup baru setelah pernikahannya.
Aku sendiri sedang mencoba menggunakan fungsi hati
yang sebenarnya, mencintai dan menyayangi dengan penuh kasih. Memang banyak
salah prasangka ketika sedang menjalin suatu hubungan, tapi bagaimana kedua
insan tersebut untuk menyikapinya. Ditambah lagi kondisi emosional yang tidak
selalu stabil, artinya ego masing-masing insan masih ingin memperjuangkan
haknya, seperti ibu-ibu yang sedang menawar harga sayur tadi.
Analogi tersebut bisa membuatku sedikit tenang bahwa
tidak selalu hak kita bisa perjuangkan, semua tergantung seberapa dampak yang ada
di dalamnya. Tetap melihat kebaikan dan kehancuran atas hak tersebut, belajar
mendewasakan diri dan mulai menggunakan fungsi hati yang sebenarnya.